Hikmah Wabah Corona: Sebuah Waktu yang Tepat untuk Berkontemplasi

live your dream

Gambar oleh Alexas Fotos, Sumber Pixabay

Tahun ini rupanya jadi tahun yang luar biasa penuh kejutan. Seiring berjalannya waktu, aku ingin menulis bagaimana aku berperan di tahun penuh kejutan ini. Kuharap tulisanku kali ini bisa memberi (setidaknya) energi positif bagi pembaca.

Kejutan di tahun ini, dimulai dari pekerjaan baruku. Profesiku kini tidak jauh dari apa yang sebelumnya sudah pernah diramalkan mendiang pamanku. Dulu, menjelang lulus SMA, aku bertanya pada paman (beliau seorang ulama di Cirebon jadi boleh dibilang beliau punya karomah) tentang ‘baiknya jadi apakah aku kelak’.

Almarhum memejamkan mata. Selalu begitu. Kalau aku bertanya yang sifatnya masa depan, beliau pasti memejamkan mata.

“Om lihat, inshaAllah kamu jadi penulis,” beliau kemudian meniru gerakan tangan orang yang mengetik di depan komputer. “Om lihat, kamu itu jadi penulis, Kak.”

Waktu itu tahun 2009. Aku melirik mamiku yang kala itu langsung cemberut. Aku tahu, mami tidak suka aku jadi jurnalis. Saat itu keinginanku sangat menggebu-gebu. Aku kepingin jadi jurnalis seperti Desi Anwar.

“Jadi penulis itu kan luas. Tidak perlu jadi jurnalis. Jadi novelis kan bisa,” sahut mami.

Aku terdiam.

Pamanku ya diam. Dia tidak akan bicara kalau tidak penting-penting amat. Apalagi soal cekcok ibu-anak macam ini. Paman hanya tersenyum dan menunduk.

Tapi ucapan pamanku itu tidak serta merta membuatku semangat dan yakin. Boro-boro yakin, mengejar mimpiku saja aku malas.

Tidak boleh jadi jurnalis ya sudah, jadi bidan saja!

(Mohon maaf aku tidak bisa ceritakan lengkap. Kalian juga akan bosan kalau tahu cerita lengkapnya). Singkat cerita, aku mulai mengubur impianku jadi jurnalis dan tidak begitu berharap kalau ucapan pamanku adalah suatu ‘ramalan’ yang benar.

Namun, entah mengapa, momen itu terus kuingat. Selalu terbayang hampir pada tiap malamku. Apalagi ketika aku selesai menulis cerita, esai atau karangan apa pun.

Jadi penulis

Kebenaran ucapan paman baru terbukti di tahun 2020 ini. Paman mengatakan aku akan jadi penulis. Dia memeragakan seorang penulis yang mengetik di depan komputer. Bukan seorang penulis yang menulis dengan pena.

Pada 10 Februari 2020 kemarin, aku resmi bekerja di sebuah perusahaan besar di Indonesia yang bergerak di bidang media.

Ya, intinya, aku kini seorang jurnalis.

Kanal beritaku menginformasikan seluruh kabar internasional. Ketika aku melamar pekerjaan ini, aku bahkan tidak yakin bakal diterima. Mungkin karena tiga tahun lamanya aku tidak bekerja, fokus jadi ibu rumah tangga.

Awalnya aku sedikit ragu untuk menerima tantangan ini. Mantan bos-ku menawarkan pekerjaan ini ketika aku sedang dilanda sedih di Bogor.

“Menjadi ibu rumah tangga yang kesepian, kelelahan, dan tidak bisa belanja ini-itu di luar kebutuhan harian.” Saat itu kalimat inilah yang berputar-putar di kepalaku.

Tidak bermaksud merendahkan apa yang sudah diterima dari gaji suami, tapi aku pribadi tipe perempuan yang kurang suka ‘minta’ kepada suamiku akan kebutuhanku sendiri.

Kalau aku punya uang sendiri kan bebas. Mau kugunakan beli buku seberapa banyak pun, mau kutabung atau kusimpan untuk persiapan sekolah dan kursus anakku, nyaman-nyaman saja.

Lagi pula, ada rasa malu di hatiku kalau uang dari suami kugunakan buat ngelurusin rambut alias smoothing. Suamiku tidak bakal marah. Dia malah menawariku berkali-kali, “Ayo kuantar ke salon. Ayo di-smoothing rambutnya. Ayo di-cat rambutnya.”

Tapi aku memilih menolak. Ya, semata-mata karena aku malu saja kalau urusan ‘happy-happy’ begitu kok pakai uang dari usaha suami yang capek-capek bekerja.

So, anyway, ketika aku diterima dan mulai bekerja sebagai jurnalis kanal internasional, aku agak sedikit nervous.

Berita pertamaku tentang virus corona. Mungkin, kalau bukan karena pekerjaan baru ini, aku tidak akan pernah tahu seberapa tinggi penularan virus yang satu ini.

Dan, seiring berjalannya waktu, aku makin mengasah diriku menulis dan menerjemahkan berita-berita dari luar negeri terutama tentang wabah corona.

Suamiku juga turut senang. Tampak sekali raut wajah bahagianya ketika aku diterima. Dia memelukku di pinggir jalan ketika kami sedang beli baso dan tiba-tiba saja ada panggilan telepon masuk ke handphone-ku.

“Berapa pun gajimu, gunakan baik-baik. Buat rumah, biar aku saja,” itu kalimat pertama yang suamiku katakan. Bayangin, baik banget kan doi… (jadi mewek).

Jadi, supaya pekerjaanku ini juga ada faedahnya, aku sepakat kalau gajiku ini juga dibagi untuk beberapa keperluan bersama. Salah satunya adalah untuk tabungan sekolah putriku, Lyubov.

Btw, lama tidak nulis tentang perkembangan putriku ini, para mommy yang rutin ikuti perkembangan tulisanku tentang Lyubov mungkin rindu, ya? (hehe ini GR aku saja).

Nah, kembali ke urusan pekerjaanku.

Semakin lancar aku menulis berita tentang virus corona, semakin terpatri dalam hatiku, “sepertinya wabah kayak gini punya tujuan tersendiri”. Sepertinya, wabah yang ‘sulit berakhir cepat’ ini punya sebuah misi.

Setelah kupikir-pikir, misi itu mungkin saja berkaitan dengan manusia dan alam pikirnya. Juga dengan alam lingkungannya dan kepada sesamanya.

Ya, misi itu adalah kontemplasi. Sebuah proses berpikir yang mau tak mau dilakukan di tengah suasana tegang, takut dan cemas. Wabah ini sepertinya memiliki misi agar manusia punya ‘waktu jeda’ dan membiarkan alam hidup lebih bebas dari sebelumnya.

Wabah corona ini sepertinya juga bertujuan agar manusia bisa berkumpul bersama keluarga mereka. Juga mengasah kembali sisi-sisi humanis yang makin pudar.

Proses kontemplasi yang kujalani pada akhirnya mengingatkanku tentang ucapan almarhum paman tentang profesiku di masa depan (hari ini). Dari ingatan itu saja, aku jadi merinding.

Jauh di dalam hatiku berkata, “terima kasih corona, mungkin, tanpamu, aku akan lupa pada jasa almarhum paman. Ramalannya memang benar. Dan aku jadi tahu apa yang selama ini telah aku sia-siakan dari masa mudaku.”

So, hikmah pertama dari kontemplasiku hari ini adalah “jangan sekali-kali remehkan impian.”

Aku telah meremehkan impianku dulu, sebagai jurnalis. Aku pernah begitu yakin dan menggebu akan menuangkan pemikiran-pemikiran jujur dan berpihak pada rakyat jika kelak menjadi jurnalis dan telah kusia-siakan semua itu. Hanya karena, aku berkali-kali dilarang oleh mami yang takut aku akan ditangkap jika menjadi jurnalis jujur.

Setelah kupikir berulang kali, sebenarnya, mamiku tidak bisa dipersalahkan atas semua ini. Beliau tidak salah. Beliau adalah seorang ibu yang takut kehilangan putrinya.

Ada satu alasan kenapa mami melarangku jadi jurnalis. Mami hidup di era Orde Baru. Di rumah kerabat kami yang dulu menjadi salah satu menterinya pak Harto.

Mami tahu betul cerita-cerita tentang jurnalis dan aktivis yang hilang. Mami juga mengerti cerita tentang mereka yang jujur dan berusaha mengungkap kebobrokan order baru disiksa dan dibungkam.

Aku tahu, mami khawatir aku akan jadi jurnalis yang jujur dan ditangkap pemerintah. Disiksa, dibunuh atau lebih ngeri lagi, dihilangkan. Tinggal nama saja.

Yah, berkat kontemplasi ini, aku jadi bisa berpikir lebih matang dan dalam kalau sebenarnya mami bukannya tidak suka dengan cita-citaku.

Tapi karena dia yakin di dalam hatinya kelak aku akan menjadi jurnalis yang jujur, seorang manusia yang jujur. Dia takut, dia akan kehilanganku selama-lamanya.

Harusnya, saat itu aku tetap buktikan pada mamiku bahwa aku fokus dengan impianku. Harusnya, aku tetap menunjukkan pada mamiku kalau aku tidak menyerah. Sembari meyakinkan pada mami bahwa aku akan baik-baik saja.

Pak Harto akan tiada (benar, kan? Mati juga dia, lha wong dia manusia biasa), masa depanku adalah masa di mana kelak presidennya tidak akan membungkam suara rakyat. Benar juga kan? Saking tidak dibungkam, setiap orang kini bebas akses punya panggung.

Artis pun bebas panjat sosial.

Meski sekarang, takdir memang mengatakan kalau aku bekerja di perusahaan media dan bekerja menjadi jurnalis, aku masih merasa jauh dari standar ‘jurnalis’ yang kuidamkan.

Bagaimana pun, hikmah dari kondisi wabah ini sangat mendalam. Aku bersyukur masih dikaruniai nalar yang sehat dan hati (yang semoga saja) selalu bersyukur.

Jangan remehkan mimpimu. Impianmu. Lanjutkan. Hiduplah dan bangkitkanlah dirimu dalam impianmu. Wujudkan dia, agar tak menjadi sekadar impian belaka…

Salam,

Miranti

Posted in Coronavirus Update | Leave a comment

2020 Apa kabar?

Terakhir kali kuingat, tahun 2017 yang penuh harapan. Saat itu aku masih percaya bahwa hidup ini tidak akan berarti tanpa harapan.

Di awal tahun baru 2020 ini aku doakan kepada semua pembaca setia (juga baru) blog ini seluruh kebahagiaan dan kesejahteraan. Semoga saja ada waktu yang bisa kalian luangkan untuk melakukan banyak kebaikan.

Seorang sufi pernah berkata, sesungguhnya kita tidak dilahirkan untuk menghapus kesalahan. Manusia akan selalu berbuat salah. Tapi kita diminta untuk beribadah (melakukan perbuatan baik). Gunanya? Untuk mengimbangi perbuatan salah yang kita lakukan agar nanti bisa lebih unggul di hadapan-Nya. Meski, sufi itu kemudian menyempurnakan nasehatnya, “tentu saja akhir dari hidupmu di akhirat bukan ditentukan dari salah dan baik ibadahmu. tapi berkat Izin-Nya.”

Aku masih mempercayai nilai-nilai baik (meski salah seorang filsuf barat mempertanyakan kembali tentang makna baik). Setidaknya sampai aku hamil, melahirkan dan membesarkan anakku Lyubov. Setiap hari aku bahkan berusaha menyodorkan nilai-nilai baik melalui perilaku kepada Lyubov. Tapi tidak hari ini, aku merasa ada yang salah dari sekedar percaya pada harapan, pada perbuatan baik dan pada kebaikan itu sendiri.

Rasanya ada yang kurang tepat.

Aku harus menunda aplikasi beasiswa ke Rusia tahun ini karena satu alasan besar; Lyubov. Dia anakku. Tidak mungkin aku menitipkannya pada orangtuaku atau lebih-lebih mertua sementara aku kuliah ke Rusia. Berdasarkan diskusi panjang lebar dengan beberapa kawan yang kuliah dan pernah kuliah di Rusia, membawa anak masih kecil juga keluarga bukan persoalan mudah. Butuh biaya ekstra (itu yang utama), waktu (tidak bisa dijamin berapa bulannya) dan juga soal ‘trust’.

Tidak apa, kupikir. Aku seorang ibu sekarang. Tugasku mengiringi tumbuh kembang anakku dan tidak sekalipun meninggalkannya. Cita-citaku terbengkalai? Iya. Harapanku musnah? Iya (meski banyak teman membesarkan hatiku dengan mengatakan bahwa tahun selanjutnya Lyubov akan lebih siap untuk ditinggal kuliah atau aku bisa saja kuliah di dalam negeri). Mereka sangat baik, tidak semua temanku punya waktu untuk betul-betul mencerna permasalahanku, tapi tetap saja mereka tidak mengerti.

Mereka tidak mengerti rasanya menjadi seorang yang memikirkan segalanya dalam satu waktu. Aku tipikal orang seperti itu. Mau bagaimana lagi? Memang banyak yang harus dilakukan dan dipikirkan matang. (zodiak lain akan mencibirku si tukang banyak pertimbangan). Namun, punya anak adalah tanggung jawab moral. lagi-lagi soal kebaikan, yang tidak mungkin aku putus rantainya. Ya, aku ini kan orang baik. Jadi aku tidak boleh meninggalkan anakku demi cita-cita.

Tidak ada yang menghakimiku. Orangtuaku sangat mendukung aku untuk kuliah di Rusia. Suamiku juga (aku percaya penuh padanya, terbukti dia bisa menulis banyak artikel saat jauh dariku), adik-adik, teman-teman dekat, mereka semua mendukungku.

Aku lah. Aku lah yang menahan cita-citaku sendiri. Tapi hatiku tidak ikhlas, aku sadar betul aku tidak ikhlas melakukannya. Bagaimana pun aku mencoba untuk mewujudkan impianku kuliah di Rusia, bayangan meninggalkan Lyubov lebih membuatku ngeri ketimbang kedinginan di Rusia. Sekali lagi, aku berpegang teguh pada prinsip kebaikan yang tidak boleh kuputus mata rantainya.

Kebaikan kedua yang kupercaya dan kulaksanakan adalah membiarkan suamiku kuliah doktoral. Seorang seniman besar di Indonesia berkata, cinta bukan pengorbanan. Jika kau merasa berkorban maka kau tidak cinta.

Anehnya, aku merasa berkorban ketika mencintai.

Suamiku kuliah doktoral di dalam negeri, dibiayai oleh beasiswa. Kami tidak keluar duit sepeser pun. Dapat duit iya. Dari duit beasiswa itu kami bisa alokasikan ke macam-macam kebutuhan. Tidak cuma urusan kuliahnya, risetnya, tapi bisa juga ke urusan rumah dan akomodasi. Ada kebaikan dari kebaikan yang kuizinkan. Tapi kemudian aku mulai tidak betah. Aku merasa iri dengannya.

Bayangkan. Aku iri dengan suamiku sendiri!

Aku iri karena dia bisa pergi ke luar kota, naik angkutan umum, masuk ke berbagai kelas. Diskusi dengan banyak orang. Bertemu banyak tokoh. Secara akademik dia sangat terasah. Pengetahuannya bertambah, dia senang berjumpa banyak hal yang sebelumnya tidak dia ketahui. Nalarnya makin matang, jiwa petualangnya makin liar. Suamiku seorang yang haus belajar. Dia fokus seperti John Wick.

Setiap artikel yang suamiku tulis pasti berisi kemajuan intelektualnya. Semua yang dia pelajari dapat aku baca intisarinya. Dan aku tidak hanya kagum, tapi juga iri.

Dia bisa melakukan apa yang dia impikan. Dia telah menamatkan jenjang sarjana, master dan sekarang doktoral. Sebentar lagi dia akan menempuh post-doktoral dan mungkin beberapa embel tahapan lain sebelum akhirnya dia berada di posisi Guru Besar.

Dan selama itu aku hanyalah perempuan yang telah keluar dari posisi bergengsi di kantor demi hidup sederhana dengannya. Menunda kursus karena hamil yang begitu menyiksa akibat Hyperemesis Gravidarum. Ditolak di sebuah perusahaan besar karena hamil tua (aku sudah berjumpa dengan atasannya sampai tahap akhir wawancara dan mereka menyayangkan harus menolak dengan alasan itu). Dan kusut di rumah bersama seorang bayi kecil yang lincah dan tidak pernah mau tidur siang.

(selama merawat anak, darah rendahku selalu kumat karena kurang tidur).

Kawan-kawan yang bekerja sudah banyak yang memberikan saran agar aku mencari pengasuh. Sekali lagi tidak, aku tidak bisa seperti mereka yang (tidak bermaksud menyudutkan, justru aku apresiasi mereka para ibu bekerja yang bisa meninggalkan anaknya). Aku pergi beli popok anakku saja hatiku sudah ketar-ketir takut anakku nangis. Belanja tanpa anak adalah mimpi buruk.

Aku pernah mencoba mengikuti saran terapis untuk pergi berdua dengan suami tanpa anak. Quality time. Yang ada justru disaster.

“Lyubov nangis ngga ya…”

Sepanjang “quality time” kami yang tidak berkualitas jadinya karena aku sibuk memikirkan bayiku yang kutitipkan pada mertua. Setiap suapan makan aku teringat gelak tawa anakku. Dan betapa teganya aku di luar sementara menitipkan dia pada orang lain.

Dia anakku. Aku tidak pantas menitipkannya pada siapapun. Aku harus bertanggung jawab.

Akhir tahun 2019 kemarin kuhabiskan untuk mengelola emosi karena aku mengidap gejala post-partum. Prestasi terbesarku adalah ANAKKU MASIH UTUH DAN SEHAT padahal aku bisa saja mencelakainya.

Terjangkit Post-partum tidak mudah. Perasaan sayang kami pada anak kadang sebanding dengan betapa kami membenci kehadiran mereka. Untungnya, perasaan benci itu, marah-marah itu, keinginan untuk melukai itu, mulai berangsur hilang setelah rajin tirakat. Banyak jalan menuju roma. Salah satu yang membebaskanku dari post-partum adalah tirakat dan suami yang sabar.

Di awal tahun 2020 ini, jika dirunut pada cita-citaku sewaktu tahun 2017 lalu, harusnya aku sudah berada di pertengahan kuliah di Rusia. 2021 seharusnya aku wisuda master. Baru setelah itu aku fokus promil dan punya anak.

Tapi Tuhan beri aku anak di awal. Rencanaku bubar mawur. AMBYAR! Kalau kata Didi Kempot. (informasi saja, Kata AMBYAR sudah masuk KBBI, lho).

(Setelah ini pasti akan banyak perempuan yang kirim direct message supaya aku bersyukur dikasih anak). Well, aku sangat mensyukurinya tanpa perlu kalian gurui.

Aku tidak butuh penghakiman kalian. Aku hanya ingin menulis dan membagi kesedihan ini kepada siapapun yang ingin mendengar, dan ingin mencerna. Bahwa hidup terkadang tidak semudah itu untuk dikatakan, “Bahagia itu sederhana.”

Dan,

Di sinilah aku. Di awal tahun baru. Mengurus anakku. Dan akan terus mengurus anakku. Hatiku mungkin akan terus bergejolak seperti ini. Aku akan menangis setiap hari. Tapi mungkin aku akan merasa lebih buruk jika meninggalkan anakku.

Oia, aku masih menjaga rantai kebaikan itu. Selamanya.

 

 

Posted in FAQ | 1 Comment

Selamat Ulang Tahun, Angga Kusuma Dawami!

I’m trying to hold my breath

Let it stay this way
Can’t let this moment end

IMG_6505

Pulau Tiga Teluk Banten

You set off a dream in me

DSC_3784

Pantai Glagah Jogjakarta

Getting louder now
Can you hear it echoing?

Take my hand
Will you share this with me?
‘Cause darling without you

IMG_6264

Pelabuhan Karangantu

All the shine of a thousand spotlights
All the stars we steal from the nightsky
Will never be enough!
Never be enough!

1

Bishkek, Kyrgyzstan

Towers of gold are still too little
These hands could hold the world but it’ll
Never be enough!
Never be enough!

DSC_4195

Sekipan, Karanganyar

 

Surakarta, 26 September 2019

Dari yang menyayangimu,

Miranti Kencana Wirawan

Posted in Reader's Letters | 1 Comment

Kilas Balik Masa Muda Saat Menjadi Orangtua, Perlukah?

Apakabar Mommies?

Menjadi orangtua membuatku sibuk belajar. Buku-buku parenting yang semula kurang kuminati, kini menjadi sahabat karib. Dekat sekali. Aku bahkan menuliskannya! Sungguh indah, bukan?

Saat ini aku masih menelusuri pemikiran Maria Montessori (dan karena sulit mendapatkan buku aslinya) aku membaca tulisan orang tentang dia. Setelah ini, aku akan membeli buku aslinya Absorbent Mind yang jika tak kutemui penjual terpercaya via online akan kubeli di google playstore.

Montessori menciptakan kemandirian intelektual. Itu inti awal dari metode ini. Sejak mula, orangtua diajak untuk berpartisipasi aktif dalam usaha mendidik anak mandiri. Bukan melakukan kewajiban anak.

Ketika aku konsultasi ke dokter spesialis setelah operasi cesarean, aku menanyakan beberapa hal. Salah satunya tentang apa yang paling awal harus kulakukan setelah menyusui. Maksudku, adakah tindakan-tindakan lain di luar kewajibanku yang bisa kulakukan untuk putriku di awal pertumbuhannya. Dia (sang dokter) berpikir sebentar lalu mengangkat kedua bahunya, “Entahlah, Bu. Jika di Jepang, orangtuanya berhasil mendidik anak mereka sejak dari lahir. Masih bayi, anak-anak Jepang sudah bisa banyak hal.”

Cukup lama aku mencerna jawaban sang dokter. Tapi kemudian aku teringat bacaanku terhadap Montessori yang kala itu masih sekelebat. Mungkin dokter ini ingin menunjukkan padaku bahwa bayi-bayi di Jepang bisa hebat-hebat karena orangtuanya peka atas masa-masa peka mereka (sensitive periode). Ya, Montessori mungkin jawabannya.

Dalam perjalananku mempelajari Montessori, aku menemukan titik-titik yang jika ditarik garis akan menimbulkan garis lurus yang seperti benang mungkin dapat dikatakan terajut rapi. Sedikit dari titik-titik itu membuatku ingin untuk menarik mundur dan sekedar menoleh ke masa lalu. Sepertinya, aku memang butuh untuk sedikit kilas balik. Karena ketika membaca periode usia anak 12-18 tahun, Montessori mengatakan bahwa kala itu anak adalah sosok penjelajah sosial. Biasanya, di usia tersebut, anak mulai membaca banyak buku menarik, tidak lazim, menyukai teman sebayanya, dan menulis buku diary.

Ciri-ciri yang telah disebutkan tadi, sangat melukiskan kepribadian remajaku. Makanya, kupikir ada baiknya jika kutulis tentang perenunganku beberapa hari ini. Kilas balik masa muda saat menjadi orangtua, perlukah?

Masa Muda Untuk Evaluasi

Apa yang kutinggalkan tak lebih dari lima buku diary dari masa remaja dan kuliahku. Seingatku, aku mulai menulis buku harian ketika duduk di bangku dua SMP. Meski sebelumnya aku sudah sering menulis, namun lebih pada novel anak, puisi dan lirik lagu pada lembaran kertas.

Buku harianku dimulai ketika Papi dan mami meninggalkan buku harian mereka ketika SMA. Ditambah, aku membaca tulisan-tulisan Soe Hok-Gie saat duduk di kelas 2 SMP. Juga buku-buku sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Aku ingat betul kala itu aku benar-benar hanyut dalam tulisan Layar Terkembang, juga Atheis. Aku juga sedang khusyuk-khusyuknya membaca pemikiran Gie (meski bukan pada pandangan politiknya) melainkan pada intuisi-intuisinya terhadap kemanusiaan. Gie adalah sosok manusia sempurna di mataku kala itu. Dari situ aku jadi kenal sosok lain seperti Gus Dur, Kartini, Cut Nyak Dien dan Ahmad Wahib, sementara sebelumnya aku juga sudah jatuh cinta pada pemikiran Bapak Sukarno, dan yang terutama kepada HAMKA.

Saat ini aku tengah mempelajari ulang catatan harianku sewaktu remaja. Ada geli campur haru. Juga terkadang ilfeel sama diriku sendiri. Tapi semua itu kutahan demi mengetahui apa yang perlu kuevaluasi dari diriku, dari “didikan” mami dan lingkungan yang membentuk diriku kala itu. sambil mengingat-ingat pula masa-masa jatuh cinta, cinta monyet, dan rasa deg deg ser yang tidak terulang lagi di masa-masa selanjutnya (apalagi setelah menikah, kepala dan hati lebih dipenuhi pikiran tentang anak).

Jadi, Mommies…

Apapun yang Anda tinggalkan di masa lalu Anda. Apakah diary atau pun tidak. Prestasi ataupun cerita buruk. Jangan buang begitu saja. Coba telaah sesekali. Evaluasi apa yang kurang kala itu. Dan tentu apa yang mungkin membuatnya istimewa. terkadang, dengan sejenak kembali ke masa lalu kita akan menemukan mutiara hikmah yang mampu kita bagi untuk anak-anak kita nanti. Termasuk, bagaimana jika di masa mendatang anak-anak kita menempuh ‘stage’ remaja seperti yang sudah kita lampaui meski zamannya sudah pasti berbeda. Namun, setidaknya kita pernah berada ‘di sana’ dan merasakannya. Sedikit kilas balik untuk evaluasi sangat menyenangkan, juga termasuk sikap healing bagi siapa saja yang memiliki masa lalu yang kelam.

Posted in Sleepless Mommy | Leave a comment

Pentingnya Menjaga Kebahagiaan pada Anak

Apakabar, Mommies?

Saat ini Lyubov masih berada pada titik unconscious mind. Antara nol sampai dua tahun kemungkinan dia mengingat suatu peristiwa sangat sedikit. Bahkan bisa jadi tidak ingat sama sekali. Tapi, bukan berarti tidak ingat betul.

Suami saya misalnya, dia ingat ketika usia dua tahun punya mainan mobil besar. Tidak ada anak lain di kampungnya yang punya mobil mainan sebesar miliknya. Ketika saya tanyakan pada mertua ternyata benar bahwa usia dua tahun suami saya sudah diberikan mainan mobil besar yang bisa dinaiki dan dikemudikan.

Suami saya mengaku, saat itu perasaannya bahagia sekali. Mobil itu memang tidak lama usianya karena sering dipakai tapi perasaan bahagia dan berbungah itu lama membekas di hatinya.

Dari pengalaman itu saya mulai memikirkan kondisi Lyubov. Sejak lahir dia mengalami perpindahan ke sana ke mari. Dari Jakarta, Cikarang, Bogor sampai Surakarta. Dan kini, posisi kami sekeluarga berada di Surakarta. Kemungkinan besar kami akan menetap di kota ini tiga atau empat tahun ke depan.

Dan itu tandanya saya harus mulai merancang sebuah pendidikan di rumah bagi Lyubov di usianya yang masih amat belia namun sangat subur untuk ditanami pendidikan moral dan rasa bahagia.

Jika suami saya saja masih ingat bagaimana senangnya dia menaiki mobil mainannya, tentu Lyubov bisa pula mengingat bagaimana dia berinteraksi dengan keluarga barunya di Surakarta. Tidak baru-baru amat memang, tapi terakhir dia berjumpa intens dengan keluarga mertua saya adalah saat Lyubov masih berusia empat bulan. Dia sudah lupa pada awalnya namun dia mulai mengenali satu persatu anggota keluarga.

Ini adalah tugas yang berat. Bagaimana bisa sebagai orangtua dewasa yang tinggal bersama mertua mampu menjaga hubungan baik tanpa merelakan kebahagiaan anak?

Namun, bukan berarti ini mustahil, kan?

Anak usia 0-2 atau bahkan 3 tahun belum ‘diwajibkan’ khatam ABC. Mereka hanya perlu ‘ditanami’ beragam kata dan ekspresi saat mengucapkannya. Pada tulisan Belajar Bersama Anak: Cerita Tentang Dongeng, saya menjabarkan beberapa poin kelebihan jika kita mendengarkan dongeng pada anak.

Usia unconscious mind memang usia yang rentan pada kekerasan verbal orangtua dan lingkungannya. Padahal di usia itu bayi, balita, menanam kata-kata dalam benak mereka. Ketika sampai usia mereka pada usia sadar atau conscious mind, mereka baru mulai mengucapkan apa yang mereka tanam di usia unconscious mind. Oleh karenanya, orangtua lebih baik berpikir sebelum berkata-kata. Termasuk menstimulus otak bayi dengan menyampaikan dongeng atau membacakan kalimat-kalimat dari buku dan dari barang-barang di sekitarnya.

Sebagai contoh putri saya, Lyubov.

Tidak hanya dongeng yang saya sampaikan padanya. Tapi juga kalimat-kalimat yang tertera pada barang-barang di sekitarnya. Instruksi menggunakan alat yang tertempel di belakang benda, manfaat dari sampo, cara penggunaan obat, dosis yang dianjurkan pada botol paracetamol tetes. Apapun benda yang ada di sekitar Lyubov, saya ambil, saya baca cara penggunaannya, komposisinya, termasuk bahasa-bahasa asing yang tertera pada benda tersebut. Saya ingin sebanyak mungkin Lyubov menabung kata-kata dan ekspresi sehingga kelak akan membantunya berbicara.

Ah, tapi tulisan saya bukan bermaksud fokus pada tips ini. Justru sebenarnya saya ingin menyampaikan bagaimana kita menyampaikan dongeng dan membacakan cerita pada anak tanpa beban sehingga dia merasa senang belajar dengan kita? Bagaimana membuat anak bahagia tanpa perlu merelakan uang keluar banyak? Bagaimana cara menjaga keteraturan pada emosi anak dengan melatihnnya menerima dan mensyukuri apa yang ada untuk tetap bahagia?

Tanamkan Bahagia

Ada dua peraturan yang saya terapkan pada Lyubov sejak dia lahir.

  1. Tidak ada mainan yang berlebihan. Mainan dibeli atau dirakit untuk kepentingan mengasah indra-indra Lyubov saja.
  2. Sedikit biaya keluar untuk menciptakan momen kebahagiaan.

Pelit? Tidak. Saya tidak terima dibilang orangtua pelit. Bagi saya kebahagiaan itu bisa diciptakan, dinikmati dan disyukuri. Jika kurang puas, kita ciptakan sendiri bagaimana caranya supaya bahagia. Jika anak sejak bayi sudah dibiasakan ‘menciptakan’ kebahagiaan dengan menguras banyak ongkos maka sampai besar dia akan melanjutkan kebiasaan itu. Kebiasaan konsumtif. Sebaliknya, jika kebahagiaan yang kita latih untuk dia ciptakan adalah berasal dari perilaku-perilaku positif maka sampai besar pun dia akan melanjutkan kebiasaan baik itu.

Kebiasaan positif yang saya terapkan pada Lyubov untuk menstimulus cara menciptakan bahagia dimulai dari berterima kasih. Pada siapapun. Pada apapun.

“Terima kasih, Oma. Oma sudah sayang sama Lyubov.”

“Terima kasih Ayah, ayah sudah bekerja keras untuk Lyubov.”

“Terima kasih ya Allah cuaca hari ini panas sekali tapi Lyubov diberi kesehatan sudah senang.”

Saya juga mengajak Lyubov berdoa dan mendoakan orang lain. Doa untuk ayahnya yang pergi kerja, untuk dirinya, untuk saya, untuk banyak orang untuk dunia.

Kebiasaan lainnya adalah memberi. Lyubov masih belum paham konsep ini, layaknya konsep berterima kasih tapi saya yakin suatu saat dia mengerti dia akan mengerti maknanya.

“Ini buat mami, ya. Lyubov kasih biskuit. Semoga mami suka.” Saya selalu bicara begitu sambil mengajak tangannya memasukkan biskuit ke mulut saya. Lalu saya mengucapkan terima kasih dan dia tersenyum.

Bukan perbincangan kita yang akan dikenang bayi, balita ataupun anak kecil. Tapi suasana perbincangan itu, bahagia atau tidak. Menekan atau mengancam. Menyakiti atau melukai.

Tanamkan bahagia untuk anak-anak kita, Mommies. Suatu saat dia akan tumbuh menjadi pribadi yang bersih dan mengasihi.

Posted in Sleepless Mommy | Leave a comment

Bayi Usia 10 Bulan Sudah Banyak Keinginan

Bukan hanya artikel keislaman yang menunggak banyak (sebab saya menulisnya dalam bentuk draft di memo smartphone) tapi juga jurnal di blog ini. Sungguh suatu hal yang kurang terpuji jika saya katakan bayi saya lah penyebab semua itu (meski memang begitu adanya) namun menjadi ibu penuh waktu memang harus mengalami hal tersebut.

baby and bear

sumber pixabay.com

Sudah sepuluh bulan saya membesarkan Lyubi. Waktu yang singkat, cepat, tahu-tahu bayi ini sudah bisa merangkak, sudah punya gigi (walau masih secuil), dan yang lebih hebat dari itu semua, bayi saya sudah punya ‘karep’.

Karep itu tidak boleh dibiarkan liar. Sejak kecil, yang namanya karep itu harus diwaspadai. Tidak selamanya bisa dilakukan, dibiarkan apalagi dilepas liarkan.

Dear Mommies,

Karep atau keinginan, sudah ada sejak bayi lahir namun gejalanya baru tampak ketika mennginjak usia enam bulan ke atas. Ada bayi yang sudah bisa menolak makan (GTM; Gerakan Tutup Mulut). Ada juga yang menunjukkan sikap-sikap lain seperti kepingin sobek tisu banyak-banyak, pukul-pukul setiap benda bergerak, dan seterusnya.

Lyubi termasuk yang punya karep-karep semacam itu. Dan yang terbaru ini, dia sedang senang-senangnya bermain air. Hampir setiap saat maunya jalan ke pancuran, main selang air atau ciprat-ciprat air dari ember besar. Apalagi kalau lihat Oma-nya sedang siram tanaman. Dia sudah menjerit kegirangan dari dalam rumah sambil maksa diantar ke Oma-nya yang basah pegang selang.

Terlihat sederhana, bayi masih kecil sudah punya keinginan banyak–ini dan itu. Tapi, kalau orangtua tidak cermat pada perilaku-perilaku yang tidak baik dari keinginannya itu, orangtua semestinya pandai menahan keinginan sang anak. Sedih, iya. Saat anak kepingin main air siang-siang bolong sementara dia baru saja sembuh dari pilek, saya ingin menangis juga ketika melihatnya rewel karena tidak saya izinkan. tapi, itu yang namanya pendidikan. Tidak semua hal boleh begitu pun tidak semua yang memerlukan pengawasan berarti dilarang.

Bagaimana dengan putra dan putri Anda, para Mommy tersayang? Semoga kita selalu diberi keteguhan hati dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita.

Salam

Posted in Sleepless Mommy | 2 Comments

Perpustakaan-Museum Keliling, Suatu Gagasan Untuk Indonesia Maju

“Mengosongkan pikiran seseorang dari kemampuan, atau bahkan semangat, untuk mengakses sumber daya kultural merupakan kemenangan besar bagi sistem kapitalis.” –Noam Chomsky, How the World Works-

Perpustakaan adalah Harapan

STORM REYES, besar di kampung imigran Amerika ketika usianya delapan tahun dan bekerja sebagai pemetik buah. Upahnya tidak bisa mencukupi bahkan untuk makan. Di kawasan tempat tinggalnya rentan akan keamanan juga kenyamanan. Pada suatu ketika, sebuah perpustakaan mobil keliling menyambangi desanya. Dari perpustakaan keliling itu, Reyes menemukan semangat hidup!

Sang pustakawan mengatakan sesuatu hal penting pada awal percakapan mereka. “You know, the more you know about something, the less you will fear it.” Kini, Reyes menjadi seorang staf di salah satu Departemen Pemerintah Amerika. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dia raih jika dia tidak membaca. Melalui tulisannya, Reyes mengakui bahwa keberadaan perpustakaan adalah suatu hal yang penting. Perpustakaan telah mengubah hidup Reyes.

Seperti yang dikatakan Chomsky, pada era 30 sampai 40-an, masyarakat pekerja kebanyakan menghabiskan waktu mereka membaca di perpustakaan. Membaca di perpustakaan merupakan suatu aktivitas yang tidak hanya memberi nutrisi atau pandangan-pandangan baru, tapi juga ‘kebutuhan’ dan ‘harapan’.

NoamChomsky

sumber foto chomsky.info

“Saya pikir itulah salah satu alasan pada masa itu orang miskin bahkan pengangguran yang tinggal di pemukiman kumuh, masih kelihatan memiliki harapan…Perpustakaan adalah salah satu faktornya. Tempat itu bukan hanya untuk orang terpelajar, semua orang bisa memanfaatkannya, meski sekarang tak lagi demikian.” Noam Chomsky, How the World Works.

Kapitalis Mencerabut Peradaban Manusia dan Makna Perpustakaan Dari Kacamata Umberto Eco

Umberto Eco mengatakan, buku-buku yang tidak dibaca lebih berharga pada hidup kita dibandingkan sebuah buku yang sudah dibaca. Ungkapan sarkastik ini tentu keluar dengan suatu alasan. Sejak dulu, kapitalis tidak hanya merajai perindustrian namun juga telah mencerabut akar-akar juga semangat kultural manusia akan peradabannya sendiri.

Itu sebabnya, Umberto Eco memilih untuk menjadi ‘antischolar’ di dalam budaya masyarakat yang menjadikan pengetahuan hanya sebagai alat untuk berkuasa. Masa posmodern ini memperlakukan pengetahuan sebagai properti perorangan, sesuatu yang terlalu dilindungi seperti harta karun. Sesuatu yang membuat Umberto Eco membagi ruang perpustakaannya (yang terdiri dari tiga puluh ribu buku) menjadi dua bagian. Pertama, bagi mereka yang datang dan berkata, “Oh Tuan Eco, banyak sekali buku koleksi Anda! Berapa banyak yang sudah Anda baca?”, dan kedua, bagi mereka yang memahami bahwa perpustakaan pribadi bukanlah pelengkap untuk meningkatkan egoisitas (gengsi) tapi justru alat penelitian.

Perpustakaan menurut Eco, semestinya memenuhi segala apa yang tidak diketahui manusia sebagaimana manusia menaruh perhatian besar pada keuangan, hipotek dan real-estate. Eco beranggapan bahwa semakin tua seseorang mestinya semakin banyak dia ‘menumpuk’ buku-buku. Tumpukan buku itu akan memandang pemiliknya dengan penuh ancaman. Semakin banyak hal diketahui manusia, semakin banyak deretan buku belum dibaca yang semestinya memenuhi perpustakaannya.

Konsep Perpustakaan dan Museum all in oneĀ danĀ mobileĀ Untuk Masyarakat Buta Huruf dan Anak-anak

Jika memungkinkan, berkunjunglah ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sejak melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung, pengunjung akan disambut dengan pameran barang-barang dan buku-buku bersejarah. Berbagai replika kitab bersejarah juga terdapat di sana sehingga pengunjung dapat mempelajarinya. Presentasi dari keluhuran budaya bangsa diterjemahkan layaknya paduan museum dan perpustakaan dalam satu tempat.

Pertanyaannya, bagaimana jika tidak berkemungkinan untuk mengunjungi dan belajar di Perpustakaan Nasional RI?

Bagaimanapun usaha pemerintah dalam mewujudkan masyarakat cerdas telah dilakukan dalam lebih dan kurangnya namun masih perlu ditingkatkan lebih jauh lagi. Perpustakaan RI semestinyaĀ  dapat dijadikan rujukan dan pula melayani serta memfasilitasi perpustakaan-perpustakaan lainnya di daerah-daerah. Termasuk juga perpustakaan yang ada di universitas-universitas seperti Perpustakaan Unsyiah. Buku-buku dan perangkat belajar yang berada di dalam pusat studi Unsyiah maupun UPT Unsyiah semestinya juga bervariasi (tidak hanya bersifat akademis). Sehingga masyarakat luas (termasuk memiliki pelatihan untuk mereka yang buta huruf) dapat mengakses bacaan sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.

Kenyataannya, bookmobile atau perpustakaan keliling juga sangat dibutuhkan. Perpustakaan yang berada di universitas seperti Unsyiah Kuala semestinya dapat mengakomodasi hal tersebut. Karena sejatinya universitas dan institusi-institusi belajar haruslah berkontribusi bagi masyarakat luas.

Hanya saja, bagaimana konsep perpustakaan keliling yang patut digalakan?

Mari sejenak mundur ke era di mana Indonesia pernah menjadi tuan rumah ketika diselenggarakannya Konferensi Peranan Pendidikan Estetika dalam Pendidikan Umum di Yogyakarta pada kurun waktu 1970-an. Sebuah konferensi yang merekomendasikan anjuran untuk mempererat kerjasama antara sekolah dan lembaga-lembaga kebudayaan, mengisi kurikulum pengajaran dengan wawasan budaya dan memperluas pemakaian sumber pendidikan. Baik di perpustakaan juga termasuk di dalam gagasan ini adalah dipadukan dengan museum.

Konsep perpustakaan dan museum dalam praktik perpustakaan-museum keliling semestinya dapat diwujudkan. Indonesia telah berkecimpung terkait gagasan ini sejak tahun 1970-an seperti yang sebelumnya sudah disebut. Namun, bagaimana perkembangannya sampai hari ini, masihlah menjadi sekedar ‘wacana’.

Di dalam perpustakaan-museum keliling, pustakawan dituntut kreatif dalam mengabdi. Perpustakaan-museum keliling dapat keluar masuk kampung, pedesaan, dan kota. Pustakawan dapat melangsungkan sebuah pameran sederhana, pertunjukan seni, penayangan film dokumenter, ataupun panggung mendongeng. Intinya, apapun yang memungkinkan untuk diselenggarakan.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan pula metodeĀ lecturing layaknya di sekolah-sekolah tinggi dapat dilaksanakan dengan bahan materi yang tentunya telah disesuaikan. Bayangkan, sebuah mobil besar berisi padat ilmu, alat-alat canggih, ornamen indah menarik hati, yang mampu membuka mata dan wawasan siapa saja berkeliling keluar masuk kampung setiap harinya! Masyarakat buta huruf mungkin tidak serta-merta membaca buku tapi mereka dapat duduk manis menyimak tayangan dokumenter. Anak-anak akan senang duduk mendengar dongeng dari pustakawan yang ramah dan selalu tersenyum. Everybody is doing good for everybody.

Perpustakaan Harus Terbuka Untuk Siapa Saja!

vintagereading2

dokumentasi brainpickings

Di daerah Surakarta, tempat di mana saya menghabiskan masa kuliah beberapa waktu silam. Terdapat sebuah perpustakaan yang gemar dinikmati semua kalangan. Bisa dibilang, hanya di tempat itu saya bisa menemukan ibu-ibu menyusui (seperti saya) khusyuk membaca sambil menimang dan menyusui bayinya, anak-anak duduk di ruang khusus bermain sambil membaca, para pekerja, orang lanjut usia, serta para mahasiswa yang sibuk mencari referensi. Mereka (mahasiswa ini) bahkan kebanyakan lebih menikmati perpustakaan milik seorang filantropis Amerika ini ketimbang perpustakaan di kampusnya sendiri.

Di perpustakaan itu juga para orangtua yang mulanya hanya mengantar anak, menjadi tertarik untuk datang lagi dan lagi. Pada awalnya mereka hanya menonton film dokumenter yang diputar tanpa henti. Setelahnya, mereka meraih buku-buku bacaan yang dibaca anaknya. Dan keesokannya mereka mulai memiliki minat untuk mencari tahu sendiri buku-buku apa yang mereka minati.

Apa yang saya cermati dari kondisi pengunjung dan perpustakaan ini (selain dari pengarsipan buku yang tepat) juga acara-acara yang mereka laksanakan. Perpustakaan juga bisa menjadi sebuah ruang untuk melahirkan karya apapun terlebih karya seni dan estetika. Pendirinya juga menyempatkan waktu mengajar bahasa Inggris. Di mana hal itu bahkan tidak saya dapatkan secara cuma-cuma dari seorang native di universitas saya (kala itu).

Buku-buku Prioritas

Chomsky mengaku sedih ketika perpustakaan favorit yang selalu dia donasikan tidak memiliki buku-buku politik yang lengkap. Bahkan pustakawannya mengaku bahwa buku-buku teori yang bersifat analitik tergeser oleh buku-buku laris alias bestseller.

Sayangnya, kategori bestseller tidak melulu mencitrakan buku bermutu, bermakna dan menggugah. Saya tidak akan menyebut penulis atau pengarang dengan ciri-ciri buku bestseller yang tidak mencerminkan mutu, kita semua akan menyadarinya jika rajin bertamasya ke Toko Buku.

Itu artinya, masyarakat akan selamanya berpikir bahwa buku terbaik adalah yang berlabel bestseller jika mereka tidak terbiasa dengan membaca buku-buku yang mengasah dan melatih nalar pikir mereka seperti buku-buku politik dan pendekatan disiplin ilmu lainnya.

Minat itu tidak akan pernah muncul jika tidak dirangsang langsung ke lapisan-lapisan masyarakat dan unit terkecil (keluarga). Dan, salah satu cara untuk dapat merangsang minat itu adalah pengadaan Perpustakaan-Museum Keliling.

Saya rasa, setiap universitas, sekolah-sekolah, dan pribadi-pribadi akademik memiliki tanggung jawab besar akan hal itu. Momen seperti Unsyiah Library Fiesta semestinya akan lebih marak, lebih bermanfaat dan lebih…LUAR BIASA jika mengadakan Perpustakaan-Museum Keliling, menebar ilmu, menebar kebaikan dan kebahagiaan.

Ya, sesuatu yang harus kita laksanakan, bukan lagi direnungkan.

 

Sumber bacaan.

https://www.brainpickings.org/2016/10/06/libraries-storycorps-bookmobile/

https://www.brainpickings.org/2015/03/24/umberto-eco-antilibrary/

Sejarah Ringkas Perkembangan Pendidikan Berbasis Museum di Iran dan Aljazair

Noam Chomsky, How the World Works, 2017:Pustaka Bentang

 

Posted in FAQ | Leave a comment

Medium!

xJGh6cXvC69an86AdrLD98

dokumentasi google

Kawan, jika berkenan silakan mampir ke blog Medium saya @mirantikejer, di mana saya menaruh catatan-catatan belajar filsafat dan spiritualitas di sana. Semoga dapat saling mencerahkan. Jangan lupa tinggalkan claps atau komentar untuk interaksi yang lebih membangun!

Salam hangat,

Miranti

Posted in Writing & Beyond | Leave a comment

Tentang MPASI di bawah 6 bulan dan Bagaimana Putriku Menjalaninya

Saat ini, putriku berusia 5 bulan 14 hari. Pada usia 5 bulan 5 hari kemarin, ASI-ku tidak lancar keluar. Selama sepekan, ASI yang keluar sangat sedikit meski segala cara sudah kucoba. Kuakui memang ada beban pikiran saat sepekan itu, dan imbasnya adalah putriku. Dia lapar. Setiap malam dia rewel.

Setelah membaca sebuah penjelasan dari Dokter Meta, terkait MPASI di bawah 6 bulan, aku dan suami memutuskan untuk memberi Lyubi MPASI. Karena memang ASI yang kuhasilkan sedikit sekali. Tidak seperti sebelumnya yang banjir melimpah.

Ada beberapa ciri bahwa bayi siap MPASI. Kepalanya sudah tegak, bisa duduk dengan bantuan yang sangat sedikit, serta bisa menelan makanan (mendorong masuk makanan ke tenggorokkan).

Pertama kali, kucoba menyuapi Lyubi dengan ASI yang sedikit dari hasil pompa. Kusuapi dengan botol bersendok. Dan, Lyubi bisa! Lyubi memang sudah memenuhi kriteria bayi siap MPASI.

MPASI pertama yang kuberikan adalah menu tunggal. Labu kuning (kabocha) yang kucampur ASI. Lyubi lahap sekali. Malamnya dia pup. Alhamdulillah dia tidak sembelit. Sebagai tambahan juga, susu formula SGM karena ASI ku masih belum keluar banyak. Dua hari belakangan, ASI ku mulai normal. Sehingga, MPASI kuberikan tidak sebanyak sebelumnya dan aku stop susu formula. Mulai dua hari belakangan sampai sekarang, Lyubi alhamdulillah bisa lebih banyak ASI lagi. MPASI tetap kuberikan hanya saja porsinya telah berkurang dari sebelumnya yang juga tidak banyak.

Lyubi juga kuberikan MPASI pabrikan merek CERELAC. Tapi masih yang rasa buah. Belum rasa daging ayam atau daging sapi. Panduan tentang kenapa juga pakai MPASI pabrikan karena kebutuhan zat besi yang aku ribet ngitungnya. Jadi, dalam satu hari, Lyubi makan MPASI homemade, juga MPASI pabrikan kutambah buah. Tapi tentu porsi ASI juga banyak. Panduannya bisa disimak dari penjelasan dokter Meta.

Posted in Sleepless Mommy | Leave a comment

Putriku dan Mainannya

5

putriku dan mainan pinjaman

Aku, suamiku dan putriku menghabiskan pekan yang manis di rumah salah satu keluarga kami di Boyolali beberapa waktu lalu. Beliau, saudara saya itu punya putri cantik dan pintar namanya Janitra. Kami sudah sering main ke sana dan bermalam. Bahkan dari Lyubov masih dalam rahimku.

Janitra punya banyak sekali mainan. Lyubov tentu senang karena bisa pinjam semua mainan Janitra. Meskipun Janitra sering menangis karena tidak mengizinkan Lyubov bermain dengan mainannya, Lyubov masih santai (karena belum mengerti). Sementara itu, orangtua Janitra memberikan didikan kepada putrinya itu untuk dapat berbagi.

Satu hal yang kukagumi dari Lyubov adalah, walaupun senang memainkan mainan Janitra, Lyubov tetap santai saat ayahnya menjauhkan mainan darinya. Dia tidak menangis apabila kami tidak memberinya mainan-mainan itu. Ketika kami dengar Janitra menangis atau rewel melihat mainannya dimainkan, kami coba menjauhkan Lyubov dari mainannya. Dan, surprise sekali, Lyubov tidak menangis!

Di rumah memang tidak ada mainan buat Lyubov. Boneka pun tidak ada. Kemarin kami baru beli mainan kerincingan dan bebek-bebek kecil untuk teman mandi Lyubov. Tapi dia kurang tertarik dengan kerincingan walau sudah bisa menggenggamnya. Lepas itu, dia tidak menangis jika tidak ada kerincingan. Ketika dia sudah bisa pegang, dia langsung lepas dan lebih tertarik untuk membolak-balikkan tubuhnya, atau memperhatikan kipas yang bergerak.

Ya, Lyubov senang dengan mesin yang bergerak, alat yang berproses. Dia bisa mengamati dengan wajah penasaran dan alis berkerut-kerut bila kunyalakan-kumatikan lampu. Atau kunyalakan-kumatikan kipas angin. Lyubov senang memperhatikan sinar-sinar terik. Saat dia berusia setengah bulan dan masih harus sering dijemur karena bilirubin, Lyubov menatap matahari di langit tanpa berkedip selama beberapa detik. Aku buru-buru menutupi walau dia bersikeras untuk tetap melihatnya.

Sampai sekarang aku belum membelikannya mainan lain. Dan sedikit ragu sebenarnya. Alasannya, waktu aku kecil dulu, mainanku banyak sekali. Boneka tidak terhitung jumlahnya. Pokoknya, sampai kelas tiga SD, aku masih suka mengoleksi boneka, barbie dan mainan. Tapi, dulu aku pelit. Kalau ada teman atau saudaraku pinjam, aku sering kali kesal. Jadi, karena takut seperti aku dulu, aku tidak membelikan Lyubov mainan yang terlampau banyak. Baru ada kerincingan, boneka bebek buat mandi, dan boneka monyet milik ayah Lyubov dulu kecil.

Posted in Reader's Letters | Leave a comment