Tahun ini rupanya jadi tahun yang luar biasa penuh kejutan. Seiring berjalannya waktu, aku ingin menulis bagaimana aku berperan di tahun penuh kejutan ini. Kuharap tulisanku kali ini bisa memberi (setidaknya) energi positif bagi pembaca.
Kejutan di tahun ini, dimulai dari pekerjaan baruku. Profesiku kini tidak jauh dari apa yang sebelumnya sudah pernah diramalkan mendiang pamanku. Dulu, menjelang lulus SMA, aku bertanya pada paman (beliau seorang ulama di Cirebon jadi boleh dibilang beliau punya karomah) tentang ‘baiknya jadi apakah aku kelak’.
Almarhum memejamkan mata. Selalu begitu. Kalau aku bertanya yang sifatnya masa depan, beliau pasti memejamkan mata.
“Om lihat, inshaAllah kamu jadi penulis,” beliau kemudian meniru gerakan tangan orang yang mengetik di depan komputer. “Om lihat, kamu itu jadi penulis, Kak.”
Waktu itu tahun 2009. Aku melirik mamiku yang kala itu langsung cemberut. Aku tahu, mami tidak suka aku jadi jurnalis. Saat itu keinginanku sangat menggebu-gebu. Aku kepingin jadi jurnalis seperti Desi Anwar.
“Jadi penulis itu kan luas. Tidak perlu jadi jurnalis. Jadi novelis kan bisa,” sahut mami.
Aku terdiam.
Pamanku ya diam. Dia tidak akan bicara kalau tidak penting-penting amat. Apalagi soal cekcok ibu-anak macam ini. Paman hanya tersenyum dan menunduk.
Tapi ucapan pamanku itu tidak serta merta membuatku semangat dan yakin. Boro-boro yakin, mengejar mimpiku saja aku malas.
Tidak boleh jadi jurnalis ya sudah, jadi bidan saja!
(Mohon maaf aku tidak bisa ceritakan lengkap. Kalian juga akan bosan kalau tahu cerita lengkapnya). Singkat cerita, aku mulai mengubur impianku jadi jurnalis dan tidak begitu berharap kalau ucapan pamanku adalah suatu ‘ramalan’ yang benar.
Namun, entah mengapa, momen itu terus kuingat. Selalu terbayang hampir pada tiap malamku. Apalagi ketika aku selesai menulis cerita, esai atau karangan apa pun.
Jadi penulis
Kebenaran ucapan paman baru terbukti di tahun 2020 ini. Paman mengatakan aku akan jadi penulis. Dia memeragakan seorang penulis yang mengetik di depan komputer. Bukan seorang penulis yang menulis dengan pena.
Pada 10 Februari 2020 kemarin, aku resmi bekerja di sebuah perusahaan besar di Indonesia yang bergerak di bidang media.
Ya, intinya, aku kini seorang jurnalis.
Kanal beritaku menginformasikan seluruh kabar internasional. Ketika aku melamar pekerjaan ini, aku bahkan tidak yakin bakal diterima. Mungkin karena tiga tahun lamanya aku tidak bekerja, fokus jadi ibu rumah tangga.
Awalnya aku sedikit ragu untuk menerima tantangan ini. Mantan bos-ku menawarkan pekerjaan ini ketika aku sedang dilanda sedih di Bogor.
“Menjadi ibu rumah tangga yang kesepian, kelelahan, dan tidak bisa belanja ini-itu di luar kebutuhan harian.” Saat itu kalimat inilah yang berputar-putar di kepalaku.
Tidak bermaksud merendahkan apa yang sudah diterima dari gaji suami, tapi aku pribadi tipe perempuan yang kurang suka ‘minta’ kepada suamiku akan kebutuhanku sendiri.
Kalau aku punya uang sendiri kan bebas. Mau kugunakan beli buku seberapa banyak pun, mau kutabung atau kusimpan untuk persiapan sekolah dan kursus anakku, nyaman-nyaman saja.
Lagi pula, ada rasa malu di hatiku kalau uang dari suami kugunakan buat ngelurusin rambut alias smoothing. Suamiku tidak bakal marah. Dia malah menawariku berkali-kali, “Ayo kuantar ke salon. Ayo di-smoothing rambutnya. Ayo di-cat rambutnya.”
Tapi aku memilih menolak. Ya, semata-mata karena aku malu saja kalau urusan ‘happy-happy’ begitu kok pakai uang dari usaha suami yang capek-capek bekerja.
So, anyway, ketika aku diterima dan mulai bekerja sebagai jurnalis kanal internasional, aku agak sedikit nervous.
Berita pertamaku tentang virus corona. Mungkin, kalau bukan karena pekerjaan baru ini, aku tidak akan pernah tahu seberapa tinggi penularan virus yang satu ini.
Dan, seiring berjalannya waktu, aku makin mengasah diriku menulis dan menerjemahkan berita-berita dari luar negeri terutama tentang wabah corona.
Suamiku juga turut senang. Tampak sekali raut wajah bahagianya ketika aku diterima. Dia memelukku di pinggir jalan ketika kami sedang beli baso dan tiba-tiba saja ada panggilan telepon masuk ke handphone-ku.
“Berapa pun gajimu, gunakan baik-baik. Buat rumah, biar aku saja,” itu kalimat pertama yang suamiku katakan. Bayangin, baik banget kan doi… (jadi mewek).
Jadi, supaya pekerjaanku ini juga ada faedahnya, aku sepakat kalau gajiku ini juga dibagi untuk beberapa keperluan bersama. Salah satunya adalah untuk tabungan sekolah putriku, Lyubov.
Btw, lama tidak nulis tentang perkembangan putriku ini, para mommy yang rutin ikuti perkembangan tulisanku tentang Lyubov mungkin rindu, ya? (hehe ini GR aku saja).
Nah, kembali ke urusan pekerjaanku.
Semakin lancar aku menulis berita tentang virus corona, semakin terpatri dalam hatiku, “sepertinya wabah kayak gini punya tujuan tersendiri”. Sepertinya, wabah yang ‘sulit berakhir cepat’ ini punya sebuah misi.
Setelah kupikir-pikir, misi itu mungkin saja berkaitan dengan manusia dan alam pikirnya. Juga dengan alam lingkungannya dan kepada sesamanya.
Ya, misi itu adalah kontemplasi. Sebuah proses berpikir yang mau tak mau dilakukan di tengah suasana tegang, takut dan cemas. Wabah ini sepertinya memiliki misi agar manusia punya ‘waktu jeda’ dan membiarkan alam hidup lebih bebas dari sebelumnya.
Wabah corona ini sepertinya juga bertujuan agar manusia bisa berkumpul bersama keluarga mereka. Juga mengasah kembali sisi-sisi humanis yang makin pudar.
Proses kontemplasi yang kujalani pada akhirnya mengingatkanku tentang ucapan almarhum paman tentang profesiku di masa depan (hari ini). Dari ingatan itu saja, aku jadi merinding.
Jauh di dalam hatiku berkata, “terima kasih corona, mungkin, tanpamu, aku akan lupa pada jasa almarhum paman. Ramalannya memang benar. Dan aku jadi tahu apa yang selama ini telah aku sia-siakan dari masa mudaku.”
So, hikmah pertama dari kontemplasiku hari ini adalah “jangan sekali-kali remehkan impian.”
Aku telah meremehkan impianku dulu, sebagai jurnalis. Aku pernah begitu yakin dan menggebu akan menuangkan pemikiran-pemikiran jujur dan berpihak pada rakyat jika kelak menjadi jurnalis dan telah kusia-siakan semua itu. Hanya karena, aku berkali-kali dilarang oleh mami yang takut aku akan ditangkap jika menjadi jurnalis jujur.
Setelah kupikir berulang kali, sebenarnya, mamiku tidak bisa dipersalahkan atas semua ini. Beliau tidak salah. Beliau adalah seorang ibu yang takut kehilangan putrinya.
Ada satu alasan kenapa mami melarangku jadi jurnalis. Mami hidup di era Orde Baru. Di rumah kerabat kami yang dulu menjadi salah satu menterinya pak Harto.
Mami tahu betul cerita-cerita tentang jurnalis dan aktivis yang hilang. Mami juga mengerti cerita tentang mereka yang jujur dan berusaha mengungkap kebobrokan order baru disiksa dan dibungkam.
Aku tahu, mami khawatir aku akan jadi jurnalis yang jujur dan ditangkap pemerintah. Disiksa, dibunuh atau lebih ngeri lagi, dihilangkan. Tinggal nama saja.
Yah, berkat kontemplasi ini, aku jadi bisa berpikir lebih matang dan dalam kalau sebenarnya mami bukannya tidak suka dengan cita-citaku.
Tapi karena dia yakin di dalam hatinya kelak aku akan menjadi jurnalis yang jujur, seorang manusia yang jujur. Dia takut, dia akan kehilanganku selama-lamanya.
Harusnya, saat itu aku tetap buktikan pada mamiku bahwa aku fokus dengan impianku. Harusnya, aku tetap menunjukkan pada mamiku kalau aku tidak menyerah. Sembari meyakinkan pada mami bahwa aku akan baik-baik saja.
Pak Harto akan tiada (benar, kan? Mati juga dia, lha wong dia manusia biasa), masa depanku adalah masa di mana kelak presidennya tidak akan membungkam suara rakyat. Benar juga kan? Saking tidak dibungkam, setiap orang kini bebas akses punya panggung.
Artis pun bebas panjat sosial.
Meski sekarang, takdir memang mengatakan kalau aku bekerja di perusahaan media dan bekerja menjadi jurnalis, aku masih merasa jauh dari standar ‘jurnalis’ yang kuidamkan.
Bagaimana pun, hikmah dari kondisi wabah ini sangat mendalam. Aku bersyukur masih dikaruniai nalar yang sehat dan hati (yang semoga saja) selalu bersyukur.
Jangan remehkan mimpimu. Impianmu. Lanjutkan. Hiduplah dan bangkitkanlah dirimu dalam impianmu. Wujudkan dia, agar tak menjadi sekadar impian belaka…
Salam,
Miranti