Nostalgia: Menjadi Relawan AIESEC ke Negeri Legenda

Dua tahun sudah saya meninggalkan kota Bishkek namun kerinduan akannya tak berujung. Kota dengan legenda Manas beserta semangatnya menumpas penjajah. Kota dengan pemandangan ngarai bersalju nan kokoh, putih dan cantik. Saya terkagum-kagum ketika memandang patung Manas berkuda tiap pagi di Manas Square dengan keelokan gunung bersalju sebagai latar pemandangan. Sungguh suatu pemandangan terindah di dalam hidup saya!

Dokumen Pribadi

Catatan momen ini saya buat dua tahun setelah pengalaman saya di Bishkek. Apakah basi? Saya rasa tidak, karena jurnal ataupun artikel feature memiliki peran melawan kebasian berita. Perkaranya, saya sudah mengabadikan di majalah Femina edisi Oktober 2014. Saat itu saya merasa sudah tidak perlu memberikan ulasan tentang petualangan saya di Bishkek-Kyrgyzstan. Namun pada pertengahan tahun 2014 dan 2015 ada tiga orang teman yang baru saya kenal meminta saya untuk memberikan arahan tentang bertualang ke negeri dongeng ini. Mereka adalah teman-teman yang juga menjadi relawan (exchange participant of AIESEC) ke Kyrgyzstan untuk musim panas. Saat itu saya hanya bisa merujuk kepada tulisan saya sendiri di femina untuk mereka baca, namun rupanya masih ada beberapa hal yang belum sempat saya sampaikan dan itu perlu untuk mengangkat kesan pada pembaca bagaimana sebenarnya menjadi seorang relawan di negara yang baru dikenal.

Menjadi Relawan

saya menyempatkan diri berfoto dekat Carven Club

Sudah menjadi cita-cita sejak kecil bahwa kelak saya akan keliling dunia. Padahal saya tahu benar kalau keliling dunia butuh biaya. Entah mengapa, cita-cita itu masih terpatri bahkan hingga sekarang. Berkat cita-cita yang lugu itu, saya mengawalinya di negeri legenda Manas, Kyrgyzstan. Ibu kotanya, Bishkek adalah pusat kota ramai dan hidup. Semua orang gemar bekerja di awal pagi, semua orang bekerja setelah subuh bahkan sampai larut malam. Menjadi relawan ke Kyrgyzstan pada mulanya adalah suatu kebetulan. Mengingat saya saat itu sudah membayangkan bakal keliling kota Teheran di Iran sebab skripsi saya bertemakan Pemikiran Syiah. Rencananya, dengan menjadi relawan di Iran saya bisa sekaligus melengkapi riset skripsi tentang salah satu pemikir revolusioner Iran, Ali Syariati. Sayangnya, AIESEC di Iran saat itu baru dalam proses establishment. Saya keburu matched dengan AIESEC Lc Bishkek Kyrgyzstan. Namun sungguh, kebetulan itu bukan suatu hal yang saya sesali. Menjadi bagian di project bernama BOOM (Build Ocean of Memories) merupakan suatu anugerah, meski sekali lagi, kebetulan saja.

Menjadi relawan berarti merelakan waktu, pikiran, tenaga dan materi bahkan boleh dibilang seluruh jiwa dan raga. Oke, konsepnya memang tidak sampai menggadaikan jiwa dan raga namun kita mesti siap kondisi apapun yang terjadi di lapangan. Siap lahir bathin deh istilahnya, untuk mampu membuat suatu keputusan saat menyikapi fenomena-fenomena yang ada ketika sampai di negeri tujuan. Tidak ada yang memperingatkan kita jika bakal terjadi bencana. Kecuali Anda seorang muslim, kita meyakini bahwa Allah Swt selalu ada selama kita mengingat-Nya. Jangan pernah takut untuk menghadapi apapun, dengan keyakinan Allah Swt membersamai langkah kita dalam kebajikan.

Bersama murid-murid Secondary School number 8

Relawan di Kyrgyzstan cukup diperhatikan. Khususnya jika Anda berkecimpung di dunia pendidikan seperti yang saya alami. Setiap sekolah di Kyrgyzstan memiliki akses yang mumpuni untuk merekrut relawan. Salah satunya melalui program yang diselenggarakan AIESEC. Secara umum, sekolah-sekolah yang mempekerjakan kami memiliki kredibilitas yang cukup baik. Mungkin karena sekolah tempat saya bekerja adalah sekolah negeri. Mereka sudah terbiasa juga bekerja sama dengan program-program internasional yang diselenggarakan AIESEC. Para guru dan dewan direksi sekolah sangat ramah dan kooperatif. Meski penduduk beragama Islam mayoritas di Kyrgyzstan, sekolah-sekolah mereka kebanyakan berbasis Kristen Orthodox Rusia. Bahasa sehari-hari mereka pun bahasa Rusia. Adapun bahasa Kyrgyz kebanyakan dipahami oleh para orangtua. Generasi muda mengerti tentang bahasa Kyrgyz namun lebih senang berkomunikasi dalam bahasa Rusia. Belakangan ini, saya mendapat pekerjaan di Kyrgyzstan dan melalui tawaran pekerjaan itu saya juga tahu bahwa masyarakat Kyrgyzstan juga mulai memperhatikan pentingnya berbahasa Inggris. Ya, mereka kerap memberikan pujian dan kekaguman pada saya yang cukup lancar berbahasa Inggris kala itu. Budaya mereka bercampur baur dengan kultur Asia Barat, Asia Tengah, Eropa Timur, Timur Tengah dan Amerika. Sekolah-sekolah Orthodox Rusia bahkan lebih condong membimbing anak-anak Kyrgyz untuk meniru kemajuan Amerika. Tidak jarang dari keluarga Kyrgyz merasa bangga jika anaknya mahir berbahasa Inggris, menenteng gadget apple atau blackberry (untuk kalangan keluarga menengah ke atas), dan bahkan berlibur atau menguliahkan anak-anak mereka di Amerika Serikat.

Mengapa AIESEC?

AIESEC logo

AIESEC baru saya ketahui saat saya duduk di semester dua. Saat itu saya memang berencana untuk bisa pergi ke Mesir mengingat jurusan kuliah saya adalah Sastra Arab. Mesir sebenarnya hanya sebuah negara di Afrika Utara namun makin modern manusia menjadikannya pusat peradaban Timur Tengah. Ketika saya mengambil penelitian skripsi bertema pemikiran Syiah dalam analisis verstehen (filsafat) maka saya mengurungkan niat ke Mesir dan condong ke Iran. Walau begitu, saya tetap berharap bisa pergi ke Mesir dan bertualang di sana. Kembali ke pertanyaan mengapa AIESEC? Sebab organisasi pemuda ini memberikan fasilitas yang extra dan profesional dari segi keamanan dan bukan fee. AIESEC cocok untuk Anda yang ingin mengecap petualangan di negara-negara berkembang sebagai relawan pemuda tanpa perlu melewati serangkaian tes yang merepotkan. Alur programnya sangat jelas, sistematis dan terstruktur. Banyak orang bilang bahwa mahasiswa yang ikut program AIESEC adalah mahasiswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Saya rasa itu salah besar. Pengalaman saya pribadi, dana yang saya dapatkan untuk bisa pergi ke Kyrgyzstan adalah hasil dari jual mobil papi saya. Kondisi kami saat itu bahkan sampai sekarang masih sederhana. AIESEC hadir untuk mahasiswa yang ingin melakukan suatu kegiatan sosial yang sesuai dengan budget yang mereka miliki. Bahkan ada beberapa teman saya yang berangkat ke luar negeri dengan biaya sponsor (entah dari produk tertentu atau juga dari rektor universitas mereka). Semua tergantung dan kembali lagi ke kondisi Anda, mau menggunakan dana pribadi atau mengusahakan sponsor.

Dengan mengikuti program yang sudah dicanangkan AIESEC, Anda akan berjumpa dengan relawan-relawan lain dari mancanegara. Misalnya seperti saat saya di Kyrgyzstan, saya memiliki tiga partner orang asing yang masing-masing berasal dari 2 orang Tiongkok dan seorang lagi dari Estonia. Kami berempat dipasangkan dua-dua dan mengikuti jadwal yang sudah dibuat oleh tim AIESEC.

AIESEC juga memfasilitasi Anda dengan keluarga angkat yang diistilahkan sebagai host-family. Dengan keluarga angkat, Anda diharapkan mampu berbaur dengan masyarakat lebih mudah. Misalnya saja, sewaktu saya tinggal di apartemen keluarga angkat, mereka memperkenalkan saya juga kepada tetangga mereka, kepada penjaga toko makanan dan sayuran di bawah, serta beberapa kedai langganan untuk membantu saya jika saya ingin berbelanja. Hal ini sangat membantu dan menguatkan silaturahim saya kepada masyarakat sekitar dekat saya tinggal. Selama bersama keluarga angkat, saya juga sering melakukan agenda keseharian yang manfaat. Kami belajar bersama, mengaji bersama (kebetulan keluarga angkat saya beragama Islam Sunni madzhab Hanafi), dan sebab pengalaman bersama ini saya sering diajari cara memasak beberapa masakan tradisional Kyrgyzstan.

Saran Untuk Menjadi Relawan AIESEC

Meski sudah mendunia bukan berarti organisasi ini tidak punya kekurangan. AIESEC khususnya sesuai pengalaman saya di Lc Bishkek, memiliki beberapa kekurangan meski itu bukan suatu kelemahan fatal. Bisa jadi karena tim-nya masih terdiri dari remaja dewasa yang baru belajar arti kemanusiaan, mereka kadang lupa untuk memprioritaskan bagaimana memperlakukan relawan baru di negara mereka dari segi kesehatan.

Beberapa teman juga cerita kalau fasilitas kesehatan dari AIESEC terbilang masih minim. Saya terpapar di atas kasur selama sepekan lebih karena ekstrimnya cuaca bersalju (-21) kontras sekali dengan panasnya Jakarta. Selama itu pihak Lc Bishkek tidak ada yang menjengkuk, hanya mengontrol melalui telepon. Mungkin terdengar sepele, namun di situlah menurut saya letak kemanusiaan yang sesungguhnya. Saya pikir, jika Anda benar-benar ingin menjadi relawan, Anda harus siap untuk kurang difasilitasi sementara Anda wajib memberikan yang terbaik.

Saya rasa itulah yang semestinya dijadikan dasar dalam kehidupan di muka bumi: memberi lebih baik dari pada menerima (sabda Rasulullah Muhammad Saw).

This entry was posted in Feature, Reader's Letters. Bookmark the permalink.

4 Responses to Nostalgia: Menjadi Relawan AIESEC ke Negeri Legenda

  1. Hai kak, terimakasih banyak infonya. Saya hilya, ada juga rencana mau kesana boleh saya minta kontaknya?

    Like

  2. MK. Wirawan says:

    Hi Hilya, aku baru pengeb ngasih tau kamu tulisanku eh malah nemu pertanyaanmu. Anehnya google ga ngirim pertanyaanmu ini ke emailku. Wait ya, aku lg ketik info2nya

    Like

  3. MK. Wirawan says:

    This comment has been removed by the author.

    Like

  4. Pingback: 2019 Titik Temu Dua Samudra | mira world web

Leave a comment